Minggu, 07 Juni 2009

Foto & Tukang Parkir cacat

Aku tidak menyangka, kalau foto yang pernah aku menangkan dari lomba 1 tahun lalu bisa membuat orang berubah seperti pemilik kedai lotek yang terkenal ini.

Sore itu kepalaku penat, seharian berpikir dan mengirim proposal berbentuk e-mail ke beberapa perusahaan. “Pulangnya aku traktir makan lotek, yuk!” kata Nur tiba-tiba menepuk punggungku dari belakang. Rupanya dia tahu kalau kepalaku sedang penat. Dan dia tahu banget makanan kesukaanku. Lotek. Ya, makanan yang terbuat dari sayuran yang di aduk dengan bumbu kacang itu selalu menggugah seleraku saat-saat perut minta untuk di isi.


“Males akh, jauh tempatnya!” jawabku cuwek.
“Jangan khawatir, aku tahu makan lotek yang enak dan tempatnya gak jauh!” ucap Nur yakin.
“O ya, di mana?” tanyaku antusias. Walau badanku kurus, tapi soal makanan yang satu itu, akan aku kejar.
“Pokoknya pulang bareng, aku ajak kamu ke tempat itu. Sekalian aku sudah undang si Rida, sudah lama banget kita gak ketemu dia.”

Tiba di tempat yang di maksud Nur, rupanya Rida sudah duduk manis menunggu kedatangan kami.
“Oi…lama banget, sech baru nongol. Sudah lapar tahu….!” Teriak Rida sambil salam dan cipika cipiki (cium pipi kanan dan cium pipi kiri). Kami bertiga langsung memesan makanan yang menu andalannya adalah lotek. Tempatnya kecil, barang-barang seperti meja dan kursinya pun sangat sederhana. Tapi dari warna dan tata ruangnya terkesan rapi dan bersih. Tak lama makanan yang di pesan datang. Kami bertiga langsung menyantapnya dengan lahap.
“Gila, tempat ini gak jauh dari kantor. Tapi kenapa kita baru tahu tempat ini?” kataku saat suapan pertama mendarat di lidahku.
“Gimana, rasa dan tempatnya oke, kan?” Tanya Rida bangga.
“Banget, Rid….!”
“Tadi siang Rida mengajakku ke sini. Tapi kamu datangnya telat. Yang gila lotek kan kamu, jadi ya aku tunggu kamu.” Jawab Nur sambil melahap loteknya. Ternyata kedua sahabatku itu sudah tertular virus lotekku. Aku menahan senyum saat melihat mereka berdua sangat menikmati makanan itu.
“Tempat ini baru buka 3 minggu, non. Dan aku baru di kasih tahu kakakku. Dia kan hobinya wisata kuliner. Dia selalu tahu tempat makanan yang baru dan oke. Berhubung ini menyangkut makanan paforit kamu, jadi ya aku buru-buru ngasih tahu.” Kata Rida sambil menyeruput minumannya.
“Eh ngomong-ngomong, gimana dengan hoby motretnya?” sambung Rida.
“Motretnya sech tiap hari. Tapi hasilnya hanya jadi koleksi pribadi saja, Rid. Soalnya lagi focus ke kerjaan kantor. Sayang banget, lumayan lagi banyak proyek. Kasian si ibu yang satu ini lagi berbadan dua, jadi ya aku yang harus ngurusin semuanya.” Kataku sambil melirik Nur yang sedang hamil.
Tidak terasa 1 jam telah berlalu. Karena aku puas dengan rasa juga tempatnya, seperti biasa aku yang traktir. Aku memanggil salah seorang pelayan,” Berapa semuanya?” Tanyaku pada pelayan itu.
“Semuanya sudah di bayar, mbak!” jawab pelayan itu mengangetkan aku.
“Sudah di bayar” tanyaku sambil berpandangan dengan ke dua sahabatku.
“Siapa yang bayar?” tanyaku lagi penasaran.
“Sama yang punya tempat ini, mbak!” jawab si pelayan yang membuatku kaget.
“Wah, penggemar rahasia nech!” celetuk Rida yang di sertai tawanya dan tawa Nur.
“Gak lucu, akh!” umpatku.
“Memangnya siapa, yang mana orangnya dan kenapa dia bayarin makanan saya?” tanyaku lagi yang bertambah penasaran.
“Saya neng!” tiba-tiba seorang laki-laki tua cacat datang dengan seorang perempuan seumuranku di sampingnya. Mereka berdua mengangguk sopan “Bapak ini siapa? Kenapa saya tidak usah membayar?”
Tanyaku tak mengerti.
“Neng lupa sama saya?” Tanya bapak itu tanpa menghiraukan pertanyaanku.
“Memangnya kita kenal?”
“Mbak ingat baik-baik bapak saya ini!” kata perempuan di sampingnya. Rupanya perempuan itu adalah anaknya. Aku menggelengkan kepala. Bapak tua itu berpandangan dengan anak gadisnya. Perempuan itu pergi, dan tak lama memberikan sebuah figura yang di tempeli sebuah foto.
“Bagaimana dengan foto ini?” Tanya anaknya menunjukkan sebuah foto yang jelas-jelas tak kan pernah aku lupakan. Seorang laki-laki tukang parkir dengan tongkat yang membantunya berjalan. Saat aku membidikkan kameraku ke arahnya, aku terharu dengan kegigihan bapak itu. Badannya yang kurus, hitam dan tak terurus tetap memilih sebagai tukang parkir walau dengan keadaan kakinya yang cacat. Dia tidak memanfaatkan kaki cacatnya untuk menjadi pengemis jalanan.
“Ya gak mungkinlah saya lupa dengan foto itu. Itu adalah foto pertama yang saya pilih untuk lomba foto lingkungan, sekaligus pemenang untuk yang pertama kalinya!” kataku terharu karena ada seseorang yang menyimpan baik-baik hasil jepretanku. Mungkin foto itu mengandung arti tertentu bagi bapak dan anak perempuannya, sehingga foto itu di beri figura dan di pajang di tempat jualan loteknya.
“Jadi, mbak sudah ingat dengan bapak saya?” Tanya perempuan itu sedikit berteriak.
“Tidak….!” Jawabku singkat. Ku lihat Nur dan Rida menertawakan aku saat itu.
“Neng tidak lupa dengan foto ini, tapi neng lupa dengan bapak?” ucap bapak tua itu lirih. Aku tertegun, aku lihat baik-baik foto dalam foto itu.
“Saya ingat foto ini, tapi maaf pak, saya benar-benar tidak ingat bapak! Apa bapak salah satu juri di perlombaan itu?” tanyaku mencoba mengingatnya.
“Bukan, neng. Laki-laki dalam foto ini bapak, yang eneng foto dulu!” jawab bapak itu mengagetkan. Kemudian aku mengingat ke masa itu.
*********************
Hoby ku pergi ke sana, pergi ke sini, jeprat sana dan jepret sini! Semua yang aku lihat, aku bidik dengan kameraku. Aku bangga dengan kamera itu. Bagaimana tidak, aku mendapatkannya dengan hasil keringatku sendiri dari usahaku sebagai pemandu wisata. Dimana aku dapatkan tamu dari internet.
Suatu sore aku keliling-keliling dengan motor bebekku tanpa tujuan. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang laki-laki tua yang memakai baju tukang parkir. Aku merogoh kameraku dari tas, kemudian lensa kameraku, aku bidikkan ke arahnya. Iseng-iseng aku kirim ke sebuah perlombaan, di mana temanya adalah foto lingkungan. Di luar dugaan, aku keluar sebagai pemenangnya. Hasil jepretanku itu menghiasi kolom di salah satu surat kabar kota. Saat aku kembali melewati parkiran itu, kulihat laki-laki tua itu sedang menatap kosong kea rah jalan raya yang penuh deru mesin. Dia menghitung uang ribuan dari sakunya. Kulihat dia menggelengkan kepalanya.
“Sore pak!” sapaku sok akrab.
“Sore….!” Jawabnya lemas tanpa sedikitpun melirik kedatanganku. Matanya tak berkedip tetap kea rah jalan raya.
“Bapak, saya punya rejeki buat bapak…. Ini bapak terima!” kataku sambil menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan . “Uang apa ini, neng!” tanyanya terkejut.
“Ini uang bapak, hak bapak. Bapak terima ya!”
“Waduh… saya memang lagi perlu uang, neng. Tapi saya mau jelas dulu, uang apa ini?”
‘Ini uang bapak, bapak terima saja!”
“Bukan acara TV kan?” tanyanya di iringi gelengan kepalaku.
“Bapak, sebelumnya saya minta maaf atas kelancangan saya mengambil foto bapak.” Kataku seraya menyerahkan sebuah surat kabar yang memuat foto itu. Dia menatap gambar dirinya dalam surat kabar. “Tidak sengaja saya mengikut sertakan foto ini dalam perlombaan. Dan ternyata saya menang. Dan uang ini hak bapak, jadi bapak tidak boleh menolaknya!” kataku menyambung.
“Jadi foto dalam Koran ini saya, neng?”tanyanya tak percaya. Aku mengangguk. Akhirnya bapak itu mau menerima uang pemberian dariku.
*******************************
“Astaga, jadi bapak…….!” Aku tak percaya melihat keadaan laki-laki di depanku. Dia memang cacat, namun tidak lagi kurus dan kotor seperti yang aku foto dulu.
“Iya neng, saya tukang parkir yang eneng foto itu!”
“Aduh maaf, saya lupa. Bapak berubah, lagi pula saya tidak tahu bagaimana bapak jadi punya usaha ini?” Tanya penasaran.
“Uang yang eneng berikan itu, di pake modal oleh Rita, anak saya. Jualan lotek. Tadinya jualan depan rumah saja. Makin lama makin banyak pembeli. Alhamdulillan sampai akhirnya dapat membeli tempat ini.” Jelasnya membuatku takjub.
Aku, Nur dan Rida saling berpandangan.
“Syukurlah, kalau uang itu bermanfaat.” Kataku tersenyum haru pada bapak dan anak itu. Aku tak menyangka, sebagian yang uang aku berikan pada tukang parkir cacat itu telah membuatnya berubah lebih baik. Tak henti-hentinya aku bersyukur.

*** The End ***

0 Comments:

 

blogger templates | Make Money Online