Kamis, 13 Agustus 2009

Bunga Kertas



Jiwaku memang sudah menyatu dengan nama tumbuhan ini. Bunga kertas adalah bunga yang mempunyai banyak warna, dan berkembang sepanjang tahun. Tumbuhan ini, sangat banyak di minati orang karena pohonnya yang tahan lama. Menurut ayah dan ibuku, bunga ini mencerminkan keindahan, suka cita, dapat di atur dan melambangkan ketegaran.
Tapi aku bukanlah tumbuhan. Aku hanyalah seorang manusia cacat yang di lahirkan oleh orang tua yang cacat. Meski kami kelurga cacat, tapi kami tidak mau hidup di bawah belas kasihan orang lain. Itulah aku, karena namaku BUNGA KERTAS.


Aku dilahirkan dengan sempurna. Pada saat usia 1 tahun aku sudah dapat berjalan, kemudian berbicara. Namun saat berusia 3 tahun, aku menderita demam yang tinggi. Kedua orang tuaku yang cacat, tidak tahu harus berbuat apa. mereka membiarkan aku dengan demam yang berkepanjangan. Mengakibatkan kakiku cacat polio. Namun aku masih mensyukurinya, karena aku masih bisa berjalan, walaupun tidak normal.

Ayahku seorang tuna netra, yang bekerja sebagai tukang pijat keliling. Ia pergi pagi-pagi buta setelah sarapan, dan mulai mencari orang yang mau di pijat. Ia kembali setelah malam menjelang. Dan ibuku seorang yang bisu tuli, bekerja sebagai buruh cuci pakaian tetangga. Walaupun cacat dan tuli, ibuku jago memasak. Sebelum pergi untuk mencuci pakaian tetangga, ibuku bangun dini hari untuk memasak dan membuat nasi bungkus untuk aku jual ke terminal bis sebelum aku pergi sekolah. Rutinitas ini memang membuatku sering terlambat masuk kelas. Tapi untunglah, pihak sekolah berbijaksana untuk membuat pengecualian keterlamabatanku. Selain karena fisikku, karena mereka menghargai pengorbananku mencari uang untuk biaya sekolah. Walaupun harus bersaing berjualan dengan orang-orang yang berfisik sempurna, tapi aku berusaha berjualan dengan baik. Aku cukup berjiwa besar untuk mendengar ledekan orang ataupun tatapan belas kasihan orang. Aku tidak pernah putus asa untuk sesuatu yang harus aku raih. Ya itulah aku, karena si Bunga Kertas. Tahan banting.

Kami hidup seadanya. Walaupun dengan ketidak sempurnaan fisik, Ayah dan ibuku selalu mengajarkan aku untuk hidup mandiri, prihatin dan menerima diri apa adanya. Fisik kami memang tidak sempurna, tapi bukan berarti tidak dapat hidup dengan sempurna. Kami dapat tempat tinggal, dapat makan, dapat berpakaian dan akupun dapat bersekolah. Dengan apa yang dapat kami terima, itu adalah kesempurnaan. Karena kami mendapatkan rezekinya dengan halal, masih banyak orang yang fisiknya sempurna, namun untuk sesuap nasipun mereka harus mengemis. Bahkan ada juga yang pura-pura cacat untuk mendapatkan simpati orang agar memberikan sebagian kecil uangnya.

Suatu hari, aku menolong seorang pria. Mobilnya hancur karena menubruk sebuah pohon besar di tepi jalan dekat rumahku. Rupanya laki-laki itu sempat keluar dari kendaraannya sebelum bagian depannya hancur. Namun kecelakaan itu tetap saja membuat badannya penuh dengan luka-luka. Aku mencoba menolongnya dan berusaha membawanya ke rumah dengan susah payah. Kami sekeluarga membantu membersihkan luka-lukanya.

Dari sinilah awal kehidupan baruku di mulai.
Laki-laki itu bernama Bima, ia nyasar sampai ke kampung kami dan saking capeknya ia terkantuk dan terjadilah kecelakaan itu. Dia sangat tampan. Aku tidak berani mengatakan aku suka. Apalagi setelah dia siuman dari pingsannya, ternyata dia adalah laki-laki yang sangat kasar. Hanya 1 malam dia berada di rumahku. Karena ia minta pindah ke rumah pak RT. Itupun dengan kata-kata kasar pula. Maklumlah, dia anak orang kota berharta pula.

Setelah dia pindah ke rumah pak RT, aku sama sekali tidak pernah melihatnya lagi. Dan setelah dia meninggalkan rumahpun, aku sudah melupakannya. Lagipun aku tak pernah bertanya pada pak RT tentang kabarnya.
2 minggu setelah itu, sepulang dari sekolah tiba-tiba dia berada di depanku. Aku masih ingat, badannya yang atletis, sangat cocok dengan memakai t-shirt ketat yang ia kenakan. Tapi bukan ketampanan dan kegagahannya yang tak dapat aku lupakan sampai sekarang, tapi karena ia berbeda dengan Bima yang pertama kali aku jumpai sebelumnya. Dia tersenyum ramah, "Sory, saya ganggu sebentar. Saya cuma mau pamit untuk pulang ke Jakarta...!" ucapnya dengan nada sopan. Aku terhentak kaget,"Pamit? Pamit sama saya? Kenapa Mas pamit sama saya?" tanyaku tak mengerti.
"Karena kamu yang menolong saya. Saya juga mau minta maaf atas sikap saya dulu. Dan sebagai permintaan maaf saya, saya mau berikan ini sama kamu....!" dia memberikan sebuah tas kulit hitam. Sebelum berkata terima kasih, ia sudah pergi meninggalkan aku yang sedang kebingungan. Seandainya fisikku normal, mungkin aku sudah mengejarnya. Tapi saat itu aku hanya bisa memandang punggungnya hingga dia menghilang dari kelopak mataku. Aku memandang tas kulit hitam itu, apa kira-kira isinya?

Setelah kubuka di rumah, ternyata tas kulit hitam itu berisi sebuah kamera. Aku menghela nafas, aku bingung, aku tidak tahu harus ku apakan kamera itu. Tidak mungkin aku tanya pada ayahku yang buta, atau bertanya pada ibuku yang bisu tuli.

Keesokkan hari, aku tanya pada pak Dirman guru kelasku. Ternyata pak Dirman juga tidak tahu tentang penggunaan kamera itu. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada pak Wahid Kepala Sekolah dengan bantuan pak Dirman.
"Dari mana kamu dapatkan kamera ini, Bunga?" tanya pak Wahid sambil meneliti benar-benar benda itu.
"Mas Bima, laki-laki yang menabrak pohon dekat rumah saya itu. Yang di rawat pak RT... kemarin dia memberikannya sekalian pamit. Tapi saya tidak tahu cara menggunakannya." kataku merasa bodoh.
"Kamu tahu harga kamera ini?" tanya pak Wahid menatapku. Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
"Harga kamera digital ini bisa jutaan rupiah?" ucap pak Wahid serius.
"Masa sech, pak. Kok, dia kasih saya barang semahal ini buat apa ya? Padahal waktu saya menolongnya, dia sangat kasar dan tidak bersahabat!!!" kataku mengadu.
"Ini sudah rezki kamu, BUnga. Biar bapak kasih tahu kamu cara menggunakan kamera ini."

Memang cukup sulit memahami penggunaan kamera itu. Tapi dengan serius aku mempelajarinya. Aku bukan orang jenius yang dapat memahami sesuatu dengan singkat. Apalagi, pak Wahid mengajariku hanya di sela-sela waktu luang saja. Namun akhirnya aku dapat menggunakannya.

Kemanapun aku pergi, aku membawanya. Aku menyayangi benda itu. Semenjak memilikinya dan dapat menggunakannya, aku merasa benda itu adalah nyawaku. Aku bersihkan tiap hari, dan aku selalu memotret yang aku lihat. Banyak aku mengambil gambar ayah dan ibuku. Saat ayah sarapan, saat ayah pergi untuk keliling kampung, saat ibu memasak, mencuci pakaian tetangga, saat ibu pulang... pokoknya aku memotret semua aktifitas mereka. Aku juga banyak memotret sekolah, teman-teman di kelas, guru-guru. Jalan, gunung, orang-orang di terminal, suasana terminal, dan setiap sesuatu yang ingin aku potret.

Suatu hari, Pak Wahid meminta memory card kamera digitalku. Katanya hendak di cetak, dia memang mencetak semua hasil jepretannku dan menyerahkannya tanpa meminta uang. Tapi beberapa hari kemudian, ia memanggilku ke ruangannya.
"Bapak memanggil saya?" tanyaku sesampainya di ruangan.
"Ya, duduklah!"
"Bunga, kamu tahu foto ini?" tanya Pak Wahid seraya memperlihatkan sebuah foto.
"Ya, tentu saja. Itu foto ayah dan ibu saya. Kenapa dengan foto itu, pak?" kataku balik bertanya. "Bunga, jika ada orang yang mau membeli foto ini. Berapa harga yang kamu inginkan?" pertanyaan Pak Wahid membuatku bingung. Aku menggelengkan kepala.
"Tidak tahu, pak!"
"Bagaimana dengan foto yang ini? Atau yang ini,? Atau mungkin yang ini?" dia memperlihat beberapa lembar foto.
"Bunga, jika kamu dapat menghasilkan uang dengan memotret, kenapa tidak kamu lakukan?"
"Maaf, pak. Saya tidak mengerti maksud bapak!"
"Bapak mempunya 26 lembar foto hasil jepretan kamu. Apa kamu mau foto-foto ini jadi uang?" tanyanya lagi membuatku tak mengerti. Tapi aku mengangguk. Siapa yang tidak mau uang di jaman seperti ini.
"Baik, hanya itu yang ingin Bapak dengar dari kamu. Kamu boleh kembali ke kelas. Besok kamu Bapak panggil lagi.

Keesokkan harinya, Pak Wahid benar-benar memanggilku lagi. Kali ini dia menyerahkan sebuah amplop coklat.
"Bukalah.....!"
Aku membukanya dengan penuh hati-hati, ternyata isinya adalah lembaran uang.
"Uang?"
"Ya, itu uang kamu!"
"Uang saya, darimana?"
"Kemarin kamu sudah menyetujui untuk menjual hasil jepretan kamu. Itulah hasilnya. Dan kamu tahu, foto ayah dan ibumu adalah foto yang paling tinggi nilainya. Kamu tidak perlu lagi berjualan ke terminal, kamu bisa membuka warung nasi bersama ibumu!'

Aku tidak menyangka sama sekali, kalau aku bisa mendapatkan uang dari foto. Dan itu berkat kamera yang di berikan Mas Bima. Dan aku juga tidak menyangka, kalau diriku mempunyai bakat dalam fotografi. Sejak itu, aku membuka warung nasi. Dengan begitu, ibuku tak perlu lagi mencucikan baju tetangga hanya untuk mendapatkan beberapa ribu saja.

Beberapa tahun kemudian, atas saran Mas Arya anak sulungnya pak Wahid, aku mengikuti pameran foto di Jakarta. Aku sertakan juga foto ayah dan ibuku yang menjadi sejarah perjalananku di dunia fotografi. Aku bangga, walaupun aku tidak sehebat fotografer asli, tapi setidaknya aku dapat menghasilkan uang dengan cara ini.

Tanpa di duga, nasib mempertemukan aku dengan Mas Bima. Kami berbincang-bincang, dia menceritakan perubahan hidupnya sepulang dari kecelakaan itu. Dan aku juga menceritakan perjalananku memanfaatkan kamera yang di berikannya.
"Syukurlah, kalau kamu bisa sukses dengan kamera yang aku berikan itu. Sungguh, dulu aku tidak tahu apa yang harus aku berikan sama kamu."
"Maaf, kalau boleh saya tahu, kenapa mas Bima memberikan kamera itu?"
"Ceritanya panjang...." dia menghela nafas panjang, kemudian kembali ke arahku.
"Aku ini anak manja, sekaligus tidak berguna. Waktu itu, aku di minta papa untuk meneruskan perusahaannya. Aku menolak, karena aku masih ingin menikmati hidup senang-senang. Tapi saat aku tinggal di rumah pak RT, dari jendela kamar itu, setiap hari aku melihat kamu. Dengan susah payah setiap pagi sebelum sekolah kamu pergi ke terminal untuk menjual nasi. Ayah kamu seorang tuna netra, tapi dia tidak pernah berhenti mencari uang untuk keluarganya. Ibumu bisu dan tuli, tapi bisa menghasilkan uang dengan mencucikan baju tetangga walaupun hasilnya tidak seberapa. Kalian cacat sekeluarga, tapi kalian mempunyai semangat hidup. Kalian tidak pernah menyusahkan orang lain. Pak RT menceritakan semua kisah keluarga kalian, dulu kalian hidup penuh cacian orang lain karena keadaan fisik kalian. Tapi akhirnya, seluruh desa justru balik menghargai kalian. Dan aku pribadi, merasa malu melihat kegigihan keluarga kalian. Tapi aku, yang memiliki anggota tubuh normal, harta melimpah, hanya dapat meminta dari orang tua, tanpa pernah menghasilkan. Aku tidak pernah berbuat apa-apa untuk orang lain. Itulah kenapa, aku memberikan kamera itu padamu. Sebenarnya aku tidak begitu meminati fotografi, kamera itu hanya sebuah hadiah ulang tahunku dari mamaku. Dan aku tidak pernah membuat sesuatu dengan kamera itu. Kamu dan keluarga kamu sudah merubahku. Sekarang aku mengambil usaha papaku. Berkat kamu, aku jadi orang yang berguna."

Aku tersenyum getir, "Tidak perlu melebih-lebihkan seperti itu, Mas. Berkat kamera yang Mas berikan juga, telah mengubah hidup saya dan keluarga."
Sejak itu aku sering bertemu dengannya, dia juga sering datang ke warung di tempatku.

Entah bagaimana mulanya, suatu hari Bima mengajakku menikah. Dia mengatakan semuanya telah dibicarakan dengan keluarganya. Kedua orang tuanya berjanji, akan menikahkan Bima dengan orang yang telah merubah kebiasaan jeleknya. Dan menurut Bima, akulah orang yang telah merubahnya. Walaupun sulit di percaya, tapi dengan penuh kebahagiaan aku tidak menolak saat di ajak bertemu dengan keluarganya.

Sore itu aku tiba di Jakarta, mobil Bima memasuki sebuah rumah yang mirip sebuah istana bagiku. Begitu luas, indah dan megah. Ternyata, keluarga Bima sudah menunggu. Begitu terdengan klakson mobil yang di bunyikan Bima, mereka berhamburan keluar untuk menyambut. Tiba-tiba rona muka mereka berubah, saat melihat aku keluar dengan kaki cacat. Bima memapahku untuk bisa sampai ke pintu rumah dengan cepat. semua orang kembali masuk dengan wajah kecewa tanpa sedikitpun menyapa atapun melempar sedikit senyum.
"Jangan kecewa, semua akan aku atur. Yang akan menikah denganmu itu aku, bukan mereka. Jadi tolong, kamu harus percaya sama aku, ok?" bisik Bima saat mengetahui kekecewaan keluarganya akan kondisi fisikku. Bima menyuruhku menunggu di ruang tamunya yang mewah. semula aku berusaha menenangkan diri. Tapi begitu mendengar suara pertikaian adu mulut di balik pintu besar itu, nyaliku ciut.
"Kamu gila, Bima. Masa kamu akan menikahi gadis kampung yang cacat? Mau di kemanakan nama keluarga ini?"
"Ma, mama yang bilang akan menikahkan aku dengan orang bisa mengubahku. Tapi kenapa sekarang mama mau mengingkarinya?"
"Tapi mama tidak menyangka kalau...."
"Dia cacat?"
"Bima, kamu tidak menceritakan keadaan gadis itu pada kami, terutama pada mama. Jelas mama kecewa dong!" sentak kakak perempuannya yang menggendong bayi.
"Jangan ikut campur, syarat yang mama berikan hanya gadis yang bisa merubahku. Tidak ada yang lain. Titik."
'Bima, gadis itu bukan hanya dari kampung, tapi juga cacat dan miskin. Apa yang kamu harapkan dari dia. Kamu itu pemilik perusahaan terkenal, bagaimana dia bisa membuat kamu bangga di depan umum? Kalau hanya dari kampung saja mungkin masih mama terima, tapi dengan keadaan yang sempurna kekurangannya, mama tidak mengerti apa yang kamu sukai dari dia, sehingga kamu memutuskan dia menjadi istri kamu?"

Aku tidak tahan lagi mendengar semua itu. Ingin rasanya aku berlari, keluar kembali pulang dan melupakan semuanya. Mereka benar, selain cacat aku miskin. Tidak ada yang bisa Bima harapkan dari aku. Bima masih muda, tampan dan kaya. Kenapa pula aku begitu cepat menerima cintanya. Aku tidak ingat untuk berkaca siapa aku. Bagaimana aku dan dari mana aku. Aku hanya terlalu gembira saat Bima mengatakan suka dan ingin memperistri aku. Aku ke GR an. Bima terlalu sempurna untukku. Keinginanku menjadi istri Bima adalah sebuah mimpi. Dan aku akan segera terbangun dari mimpi itu.

Tapi aku tidak dapat berlari dari ruangan itu. seandainya kakiku normal sekalipun, aku tetapi tak akan dapat keluar dari rumah itu, karena di luar ada beberapa satpam yang menjaga. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak dapat menahan sakit, sakit karena kekuranganku menghambat mimpiku. Rupanya isak tangisku terdengar oleh Bima. Ia segera datang dan memelukku.
"Bunga, semuanya akan baik-baik saja!" serunya meyakinkan aku. Aku tidak begitu yakin isi hati Bima yang sebenarnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki seperti Bima hendak memperistri aku yang cacat dan miskin? Inikah cinta sejati?

"Ini adalah tangisanku yang pertama. Aku tidak pernah mengeluarkan air mata, apalagi sampai terisak-isak. Keluargamu benar, Mas. Tidak ada yang bisa aku berikan untuk membahagiakan kamu. Aku cacat dan miskin. Apa yang Mas lihat dari aku yang hina ini? Jangan di teruskan lagi, biar aku terbangun dari mimpi ini." kataku terbata-bata menahan sedih.

"Tapi aku merestui kalian....!" sebuah suara terdengar tiba-tiba. Seorang lelaki tua, menghampiri kami. Semua orang di sana memburu memapah lelaki itu.
"Aku yang menentukan di keluarga ini. Aku kepala rumah tangga di sini. Aku yang memberikan kedudukkan pada Bima. Siapa bilang perempuan ini tidak dapat membahagiakan Bima? Walaupun kakinya cacat, ayahnya buta, dan ibunya bisu tuli, tapi mereka patut di jadikan contoh oleh kalian. Karena mereka tidak pernah menyusahkan orang lain. Keluarganya makan dengan keringat sendiri. Tidak seperti kalian yang hanya bisa menghambur-hamburkan hasil keringatku. Dulu aku bersusah payah membangun usaha, karena aku mempunyai fisik yang sempurna. Tapi bagaimana dengan keluarganya yang cacat semua? Dapat kalian bayangkan? Apa kalian dapat melakukan apa yang dia lakukan? Dia yang telah menyadarkan Bima agar belajar hidup. Itu adalah sebuah prestasinya bagi seorang yang cacat...."sambungnya lagi. Tak terasa air mataku jatuh lagi.
"Aku rasa, itu adalah air mata yang ke dua kalinya... bukan begitu BUNGA KERTAS?" ucapnya lagi membuatku kaget. Bima menghampiri lelaki itu.
"Darimana papa tahu semua tentang Bunga?" tanya Bima heran
"Saat papa tahu kamu tidak mau di jodohkan, papa menyuruh orang untuk mengetahui sebabnya. Dan papa rasa kamu tidak salah pilih."
Lelaki itu menghampiriku, dan mengusap kepalaku.

Ya Tuhan, ternyata semua itu bukan mimpi. Ternyata ada juga orang yang bijaksana di jaman sekarang ini. Akhirnya aku menikah dengan orang yang aku cintai. Aku tidak menyangka, aku yang cacat dan miskin, bisa mendapatkan lelaki yang sempurna di mata. Tapi sayang, kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Karena saat aku mengandung 7 bulan, suamiku pergi untuk selama-lamanya. Kecelakaan pesawat itu telah merenggutnya dariku.

Tapi, bukanlah Bunga Kertas jika aku harus menangisi nasib. Aku melahirkan dan membesarkan Bima junior. Alhamdulillah, dia lahir normal sampai sekarang.

Cerita di atas hanya fiksi, mohon maaf jika ada kesalahan tulisan dan bahasa. Saya hanya menulis mengikuti imajinasi saya.
Terima kasih.

0 Comments:

 

blogger templates | Make Money Online